Karanganom - Malam itu, langit Dusun Krajan, Jurangjero , Karanganom, berpendar lembut. Angin membawa aroma sawah yang baru saja dibajak, berpadu dengan semilir ketenangan khas pedesaan. Di tengah suasana yang hening dan damai, Ngaji Tani kembali digelar di basecamp kecil yang hangat di ujung kampung.
Tak terasa, ini adalah tahun kedua Ngaji Tani berjalan. Sebuah ikhtiar sunyi yang tumbuh dari tanah—dari tangan-tangan petani yang tak hanya bercocok tanam, tapi juga menanam ilmu dan harapan. Malam ini, saya sempatkan sejenak mengantar istri ke undangan dzikir bersama di rumah saudara. Setelah berpamitan, langkah saya beralih menuju lokasi Ngaji Tani.
Biasanya hanya enam orang yang hadir. Tapi malam ini, suasana berbeda. Sepuluh wajah menyala hadir, membawa semangat baru. Mereka datang bukan sekadar untuk mengaji, tapi juga untuk merawat rasa: rasa kebersamaan, rasa ingin tahu, dan rasa ingin maju.
Sesi dibuka dengan obrolan ringan seputar persiapan menjelang Idul Adha—tentang hewan kurban, harga kambing, dan teknis pemeliharaan. Tak sekadar diskusi teknis, percakapan ini menjadi jembatan empati: bagaimana gotong royong bisa meringankan beban sesama. Lalu kami melanjutkan dengan kajian singkat selama lima belas menit. Ayat-ayat suci dibaca dengan khusyuk, menyejukkan malam yang kian larut.
Di akhir sesi, suasana semakin hangat. Kami duduk bersila dalam lingkaran, membahas kelanjutan pengajuan legalitas kelompok ternak yang kami beri nama Maju Manunggal. Nama yang kami sepakati bersama: simbol tekad untuk tumbuh dan bersatu, sebagaimana akar rumput yang saling menguatkan di bawah tanah.
Sejak pertama kali digelar, Ngaji Tani telah menjadi ruang tumbuh yang nyata. Dari forum kecil ini, lahir dua orang anggota yang kini mengantongi sertifikasi Juru Sembelih Halal (Juleha) dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Mereka tak hanya bersertifikat secara nasional, tetapi kini juga aktif terlibat dalam berbagai agenda pelatihan dan dipercaya menjadi asesor di Rumah Pemotongan Unggas (RPU) di berbagai tempat di Klaten. Sebuah lompatan yang membanggakan—berakar dari diskusi di sederhana, dan kini memberi manfaat di ruang-ruang profesional.
Tak hanya itu, hampir seluruh jamaah Ngaji Tani kini telah memiliki kemampuan mandiri dalam memproduksi pupuk organik, probiotik, serta berbagai kebutuhan pertanian lainnya. Mereka tak lagi hanya menjadi pengguna, tetapi sudah bertransformasi menjadi produsen ilmu dan teknologi sederhana yang mereka racik sendiri. Semua dirintis dari obrolan santai, dari kesediaan untuk saling belajar, dan dari semangat gotong royong yang terus dijaga.
Ngaji Tani bukan sekadar agenda rutin bagi kami. Ia adalah ruang bertumbuh. Tempat kami bertukar pikiran, saling bercerita tentang lika-liku bertani dan beternak, dan membalut semuanya dalam nuansa kekeluargaan yang tak dibuat-buat. Di sini, kami belajar bahwa menjadi petani tak hanya soal mencangkul dan menanam, tapi juga soal merawat nilai dan harapan.
Malam itu ditutup dengan tawa pelan dan jabat tangan yang hangat. Di Dusun Krajan, Ngaji Tani terus berjalan, tumbuh seperti tunas yang perlahan menjadi pohon. Dan kami, para petani, tak pernah lelah menyiramnya.