Kemalang - Malam ini menjadi pertemuan ketiga Ngaji Tani sejak dimulai akhir Februari 2025 lalu. Seperti biasa, jarum jam menunjukkan pukul 19.20 malam. Seusai salat Isya, gerimis masih turun lembut di luar—membasahi jalanan dan menebar hawa dingin khas lereng Merapi.
Sebenarnya tubuh ini terasa cukup lelah. Seharian penuh mendampingi kegiatan BUMDes di salah satu desa di Jogonalan. Namun, kerinduan akan suasana Ngaji Tani dan rasa persaudaraan yang begitu kuat menumbuhkan semangat tersendiri. Dengan perlahan kami berangkat menempuh perjalanan sekitar 17 km. Untungnya, istri yang seharian di rumah berkenan menemani, meski wajahnya tampak letih.
Sesampainya di lokasi, tepatnya di rumah Bapak Dalisih, Dukuh Kaliwuluh, Desa Sidorejo, Kemalang, kami disambut dengan senyum hangat khas warga desa yang selalu membuat hati tenang. Di samping beliau, sudah duduk tiga orang jamaah lainnya. Obrolan santai pun mengalir sebelum akhirnya tepat pukul 20.30, Ngaji Tani dimulai.
Malam ini, materi yang diangkat berkaitan dengan air dan segala fungsinya dalam kehidupan, terutama dalam konteks pertanian dan keberlanjutan alam. Sepuluh menit berselang, satu per satu jamaah mulai berdatangan. Mereka datang dari berbagai desa di wilayah Kecamatan Kemalang. Alhamdulillah, meski hujan dan hawa dingin menusuk, sekitar 12 orang hadir malam ini. Sungguh, ada rasa haru dan kebahagiaan melihat semangat yang tak luntur oleh cuaca.
Setelah sesi ngaji selesai, sekitar pukul 21.00, diskusi berlanjut dengan tema yang tak kalah menarik: kambing Etawa dan produksi susu. Salah satu topik yang dibahas adalah pemanfaatan limbah roti sebagai pakan alternatif untuk ternak. Ternyata, salah satu jamaah Ngaji Tani yang juga anggota Komunitas Petani Muda Klaten adalah seorang pengusaha roti. Sebuah kebetulan yang menggembirakan!
Diskusi makin malam makin hidup. Kami pun berbagi cerita tentang kunjungan ke Tulungagung, Jawa Timur—kota kelahiran yang juga menjadi titik temu takdir. Di sana, saya bertemu peternak kambing Etawa yang telah sukses memanfaatkan limbah roti sebagai pakan utama, dan hasil produksinya meningkat drastis. Cerita itu menambah semangat dan optimisme kami semua malam itu.
Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 22.30. HP berdering, panggilan tak terjawab dari istri—tanda lembut bahwa sudah saatnya pulang. Saat menengok ke sekeliling, para jamaah masih tampak antusias, belum satu pun menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Namun, karena esok pagi harus kembali bekerja, saya pun berpamitan lebih dulu.
Alhamdulillah, malam ini Ngaji Tani berlangsung khidmat dan lancar. Dalam suasana syahdu, ditemani rintik hujan dan sejuknya malam lereng Merapi, kami saling menguatkan dan menimba ilmu.
Dalam perjalanan pulang, sambil menyetir dan mendengar istri yang mulai terlelap karena kelelahan, hati ini penuh rasa syukur. Semoga Allah meridhai setiap langkah kecil ini. Sampai jumpa di pertemuan Ngaji Tani selanjutnya—dalam semangat yang tak pernah padam.